15 September, 2008

zakat dan riba

ANTARA ZAKAT DAN RIBA
(MEMPERSEMPIT KESENJANGAN ANTARA SI KAYA DENGAN SI MISKIN)

Oleh: Abdurrahman Nuryaman

Sudah terlalu sering kita mendengar seruan untuk mempersempit jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Sudah lelah kita menerima selogan-selogan yang diusung oleh berbagai kalangan untuk melipat kesenjangan antara mereka yang berharta dan sanak saudara kita yang melarat. Kebijakan demi kebijakan terus bergulir atas nama kemanusiaan, dan undang-undang silih berganti ditetapkan atas nama kebijakan yang memihak rakyat kecil.
Tentunya semua itu tidak sia-sia, akan tetapi sesungguhnya masalah yang paling besar yang selama ini telah menciptakan kesenjangan antara orang yang memiliki modal dengan mereka yang hanya bertumpu pada nasib adalah sistem ekonomi riba.
Mari sejenak kita cermati masalah yang satu ini, semoga Allah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.
Riba adalah sistem yang zhalim dan merusak. Riba inilah yang telah menyebabkan negeri-negeri muslim selalu terkalahkan dalam sistem ekonomi dunia, dan menyebabkan kaum muslimin selalu menjadi orang nomer dua dalam persaingan.
Gambaran mudahnya kira-kira sebagai berikut:
Kita semua tentu mengerti bahwa pada zaman dahulu, orang-orang melakukan transaksi jual beli dengan menukarkan barang dengan barang, yang kita kenal dalam istilah ekonomi dengan barter. Belakangan kemudian mulai muncul alat transaksi, berupa jenis-jenis tertentu dari logam dan batu mulia. Dan setelah itulah kemudian emas dan perak menjadi alat transaksi yang paling dikenal, sebagai alat transaksi oleh hampir semua bangsa di dunia, termasuk di zaman Rasulullah SAW yang saat itu dikenal dengan dinar dan dirham.
Akan tetapi berbelanja dalam jumlah yang besar menjadi kendala dari alat transaksi emas dan perak ini, karena membawanya ke sana kemari dalam jumlah besar adalah masalah besar. Di sinilah awal munculnya ide menggunakan uang kertas; yaitu dengan menyimpan uang emas dan diterbitkanlah uang kertas yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai semacam kwitansi bergambar rumit, sebagai bukti bahwa si fulan memiliki emas berjumlah sekian. Tapi dibelakang hari, uang kertas itu sendiri disahkan sebagai harta yang tidak lagi memiliki hubungan dengan nilai riil, yaitu emas. Lebih parah lagi kemudian bahwa antara satu mata uang dengan mata uang lainnya, tidak lagi berlaku satu berbanding satu, akan tetapi ditentukan oleh lingkaran setan riba yang zhalim. Kalau kita sederhanakan, orang-orang yang paling malas sekalipun dapat menjadi orang kaya raya dengan jual beli mata uang secara haram, tanpa harus bekerja keras menciptakan hasil kerja riil ataupun jasa; dimana di pagi hari hanya butuh menghidupkan komputer lalu memasuki alam maya ciber global dan berjudi dengan hanya mempertaruhkan sesuatu yang hakekatnya tidak ada.
Yang sangat mengerikan adalah bahwa sistem keuangan ribawi ini telah menjadi kekuasaan bayangan yang sangat kejam, sehingga dapat mempengaruhi sistem politik, mengendalikan kebijakan suatu pemerintahan, dan yang paling menyakitkan adalah semakin memiskinkan orang-orang miskin.
Coba mari kita kenang kembali ketika th. 1997 mata uang rupiah jatuh terhadap dolar Amerika, dalam prosentase yang sangat besar. Sebelum itu orang-orang yang berpenghasilan Rp 500.000-, sudah termasuk kelas ekonomi cukup mapan saat itu, tapi dalam waktu sekejap menjadi orang-orang yang jauh dari cukup. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang secara ekonomi di bawah itu? Harga barang langsung melonjak tak terkendali. Sekian juta masyarakat Indonesia tiba-tiba menjadi jatuh miskin, bukan karena mereka terbelakang, bukan karena mereka berhenti bekerja, bukan karena malas; tapi karena dimiskinkan oleh sistem. Para petani tetap bertani, pada pedagang terus berdagang, para karyawan negeri atau swasta tidak berhenti bekerja; tapi hasil kerja keras mereka yang seharusnya cukup menjadi anjlok tak punya nilai dalam sekejap dan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sampai perekonomian kembali stabil Inilah gambaran sederhana dari kezhaliman sistem ribawi.
Kezhaliman sistem riba sesungguhnya telah diisyratkan Allah dalam al-Qur`an. Cobalah perhatikan Surat al-Baqarah dari ayat 275 sampai dengan ayat 281. Setelah Allah merinci tentang riba Allah kemudian berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum kalian ambil) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menzhalimi dan tidak (pula) dizhalimi."
Karena itu, adalah naif jika ada di antara pemikir kaum muslimin yang mengatakan bahwa apabila dalam prosentase kecil maka riba itu tidak apa-apa dan dapat dianggap sebagai biaya operasi transksi. Atau ada lagi yang mengatakan, bahwa riba yang diharamkan al-Qur`an adalah yang merugikan salah satu pihak, tapi apabila masing-masing pihak mendapat keuntungan, maka itu adalah riba yang boleh-boleh saja. Ini adalah asumsi batil yang rapuh yang sama sekali tidak didasari oleh semangat syariat Islam yang menyebarkan keadilan untuk setiap individu dan bertentangan dengan ruh Risalah al-Muhammadiyah untuk menciptakan suatu orde sosial yang saling menguntungkan antara semua komponen.
Masalahnya, riba tidak hanya sempit antara seorang dengan seorang, atau antara sebuah bank dengan sejumlah nasabah, atau antara sejumlah PT. dengan sebuah perbankan, yang dibayangkan oleh mereka yang membenarkan riba tersebut. Yang menjadi masalah adalah bahwa sistem riba ini merugikan penghidupan banyak orang yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat dalam mewujudkannya, menzhalimi masyarakat luas, dan mendatangkan perekonomian yang tidak mendatangkan berkah Allah.
Karenanya, setelah isyarat tadi Allah c pada ayat 281, mempertegas peringatanNya. FirmanNya,
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dizhalimi (dirugikan)."

Sebelum kedua ayat di atas Allah c merinci tentang riba dan orang yang mengambil riba. Coba mari kita lebih perhatikan apa kata al-Qur`an sebelum kedua ayat di atas.
Allah Ta'ala berfirman,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 275)
Dalam kitab al-Kaba`ir Imam al-Hafizh adz-Dzahabi mengomentari ayat "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila', dengan mengatakan, "Maksudnya, mereka (yang memakan riba tersebut) akan bangun dari kubur-kubur mereka pada Hari Kiamat seperti orang-orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Dan itu menimpa mereka "adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba."
Riba sama dengan jual beli? Sungguh perkataan yang sangat keji dan kias yang tidak saja rusak tapi juga merusak.
Asy-Saikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengomentari perkataan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli ini dalam syarah beliau terhadap al-Kaba`ir, dengan mengatakan, "Kias mereka ini adalah persis seperti kias Iblis ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Iblis berkata, sebagaimana yang diabadikan Allah; agar dapat diambil hikmahnya oleh kita semua,
ﮋ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﮊ
"Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." (Shad: 76).
Mereka telah melakukan analogi yang rusak, sehingga pada ayat itu juga Allah langsung menyanggah analogi mereka dengan FirmanNya, " Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Kata asy-Syaikh Utsaimin, "Allah tidaklah menghalalkan jual beli dan mengharamkan, kecuali karena antara kedua jenis (transaksi) tersebut terdapat perbedaan yang sangat besar, dan bahwa keduanya sama sekali tidak sama."
Pada ayat 276 dari surat al-Baqarah, yang merupakan kelan-jutan dari ayat di atas, Allah Ta'ala berfirman,
ﮋ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮊ
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
Riba adalah salah satu dosa yang paling berbahaya bagi seorang muslim di dunia dan akhirat. Seperti itu tadi bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem riba di dunia, maka pantaslah Allah dan Rasulullah SAW mengancam dengan ancaman yang sangat mengerikan di akhirat nanti. Di samping ayat-ayat Allah tadi, hadits-hadits Rasulullah SAW juga begitu keras memperingatkan riba. diantaranya Rasulullah SAW bersabda mengisahkan perjalanan isra` dan mi'raj beliau bersama kedua orang malaikat yang membawa beliau,
حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا.
"… sampai kami mendatangi sebuah sungai dari darah, yang di tengahnya terdapat seorang laki-laki yang tengah berdiri, dan di tengah-tengah sungai tersebut terdapat pula seorang laki-laki yang di tangannya terdapat batu. Orang yang ada di sungi itu mendatanginy, dan bila orang tersebut ingin keluar (dari sunagi) laki-laki yng satunya tersebut melemparkannya dengan batu pada mulutnya lalu mengembalikannya ke tempat berdirinya semula; maka setiap kali dia berusaha untuk keluar dari sungai itu laki-laki itu melemparnnya dengan batu di muluitnya, sehingga dia kembali ke tempatnya semula, maka aku bertanya (kepada Jibril), 'Apa ini?' Maka dia menjawab, 'Laki-laki yag engkau lihat disungai itu adalah orang yang makan (mengambil) riba.". (Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari Muslim dan lainnya)
Dalam hadits lain, dari Jabil bin Abdillah, bahwasanya beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
"Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (menggunakan) harta riba, orang yang memberikannya, yang menjadi juru tilis (dalam transaksi) riba, dan dua orang menjadi saksi" dan beliau bersabda, "mereka semua adalah sama". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim).
Apabila riba harus diperangi, lain halnya dengan Zakat yang merupakan kebalikannya. Riba adalah azab dan kezhaliman, sedangkan Zakat adalah rahmat dan keadilan. Solusi paling tepat untuk mempersempit kesenjangan antara si kaya dengan si miskin adalah Zakat. Secara logika sederhana kita dapat katakan, "Semakin kaya seseorang, maka orang-orang miskin semakin senang, karena akan semakin banyak zakat hartanya. Dan semakin banyak orang kaya, maka orang-orang miskin juga semakin senang, karena semakin banyak pula orang yang mengeluarkan zakat." Seandainya satu Rt kaum muslimin membayar zakat yang wajib mereka keluarkan, niscaya dua Rt kaum muslimin bisa di subsidi dengan harta zakat yang terkumpul.
Bagi kita kaum muslimin, Zakat tidak hanya sekedar sebagai solusi problem sosial, tidak hanya membagi kasih kepada sesama, bukan hanya sebatas keperdulian sosial. Zakat adalah kewajiban asasi bagi kita, dan salah rukun Islam. Cobalah anda perhatikan, bagaimana Allah dalam banyak ayat merangkai Zakat dengan Shalat. Karena itu, kita yakin bahwa tonggak sebuah masyarakat Islam tidak akan berdiri, kecuali dengan Shalat dan Zakat, serta tentu saja kewajiban-kewajiban lainnya.
Mari kita lawan sistem riba dengan sistem Islami yang diridhai Allah, dan tinggalkan perekonomian ribawi yang penuh kezhaliman. Mari kita merubah cara pandang kita terhadap suatu sistem, niscaya kita akan mampu menghadapi segala hal yang selama ini menjadi pertimbangan berat kita meninggalkan riba.

i'tikaf sepuluh akhir ramadhan

I’tikaf sepuluh akhir bulan Ramadhan


Rasulullah n biasa beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Pada tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Al-Bukhari).
I’tikaf adalah sebuah ibadah yang terkumpul berbagai jenis ibadah lainnya. Berupa tilawah Al-Qur’an, shalat, dzikir, doa dan lain-lain.
Orang yang belum pernah i’tikaf, menggambarkan I’tikaf sebagai ibadah yang berat dan sulit. Padahal i’tikaf sangatlah mudah bagi orang yang Allah beri kemudahan, orang yang mempersenjatai dirinya dengan niat ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh, niscaya Allah  pasti akan menolongnya.
I’tikaf sangat dianjurkan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sekaligus untuk meraih malam Lailatul Qadar. I’tikaf adalah mengurung diri dan mengkonsentrasikan diri untuk berbuat taat dan selalu mengingat Allah, memutuskan hubungan dengan segala kesibukan-kesibukan, mengurung hatinya dan jasmaninya untuk Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada yang terbetik dalam hatinya suatu keinginan selain Allah dan yang dapat mendatangkan keridha-Nya. Disini kami coba untuk menerangkan sekelumit tentang hal-hal yang berkaitan dengan I’tikaf, semoga dapat memberikan keterangan dan penjelasan bagi kaum muslimin serta dapat mengambil manfa’atnya.
Definisi I’tikaf
Secara etimologi i’tikaf adalah menetapi sesuatu dan mengikat diri kepadanya.
Secara terminologi syariat: “menetapi masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.”
Hikmah Disyariatkannya I’tikaf
Ibnul Qayyim p ketika menjelaskan beberapa hikmah i’tikaf, dia menuturkan;
“Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah sangat bergantung kepada kuat tidaknya hati itu berkonsentrasi mengingat Allah. Dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya secara total kepada Allah. Sebab kekusutan hati hanya dapat dirapikan dengan menghadapkan secara total kepada Allah. Perlu diketahui bahwasanya makan dan minum yang berlebihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya, dan menghambat perjalanannya menuju Allah atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hambaNya, Allah mensyari’atkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanannya menuju Allah. Dan mensyariatkan i’tikaf yang inti dan tujuannya ialah menambat hati untuk senantiasa mengingat Allah, menyendiri mengingat-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan memfokuskan diri bersama Allah semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat diisi dan dipenuhi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap kepada-Nya.
Hukum I’tikaf
I’tikaf merupakan bentuk pendekatan diri dan ketaatan kepada Allah. Mengamalkannya adalah sunnat (dianjurkan), dan sangat dianjurkan diamalkan pada bulan Ramadhan. Dan terlebih lagi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan hukumnya menjadi wajib jika dinadzarkan.
Dalilnya sebagai berikut:
1. Hadits Abu Hurairah z bahwa ia berkata,
“Rasulullah n biasa beri’tikaf selama sepuluh hari pada setiap bulan Ramadhan. Dan pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al-Bukhari)
2. Hadits ‘Aisyah x bahwa ia berkata,
“Rasulullah n biasa beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan. Manakala selesai shalat Subuh, beliau segera memasuki tempat i’tikafnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
“Hingga beliau juga beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Syawal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Masih dari ‘Aisyah x ia menuturkan,
“Rasulullah n biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istri-istri beliau juga melakukannya sepeninggal beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Dalil wajibnya i’tikaf jika dinadzarkan adalah sabda Nabi n,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ الله فَلْيُطِعْهُ. (متفق عليه)
“Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan juga dari Abdullah bin Umar c ia menceritakan bahwa Umar z bertanya kepada Rasulullah n, “Pada masa jahiliyah dahulu aku pernah bernadzar beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Rasulullah n bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu.”
Syarat-syarat I’tikaf;
1- Islam.
2- Berakal.
3- Baligh.
4- Niat.
5- Di dalam masjid.
6- Suci dari janabah, haidh dan nifas.
Alim ulama berbeda pendapat apakah seseorang yang melakukan i’tikaf harus dalam keadaan berpuasa? Demikian pula mengenai jangka waktu beri’tikaf. Kelihatannya yang paling tepat adalah tidak disyaratkan harus berpuasa dan tidak ada pembatasan waktu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz t.
Amalan-Amalan Sunnat Bagi Orang Yang Beri’tikaf
1. Memperbanyak ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur’an, membaca buku-buku ahli ilmu dan lain-lain.
2. Menjauhkan diri dari ucapan sia-sia, seperti berdebat, mencela, memaki dan lain-lain.
3. Berdiam di tempat i’tikaf dalam masjid. Berdasarkan riwayat Muslim dari Nafi’ ia berkata; “Abdullah bin Umar menunjukkan kepadaku tempat yang dipakai Rasulullah n beri’tikaf di dalam masjid.”
Perkara-perkara Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Beri’tikaf
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk suatu keperluan yang mendesak. Berdasarkan hadits shahih dari ‘Aisyah x bahwa ia berkata,
“Tuntunan bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri penyeleng-garaan jenazah, tidak menyentuh dan mendekati kaum wanita, tidak keluar dari tempat i’tikaf kecuali untuk sebuah keperluan yang mendesak.” (HR. Abu Dawud dan dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Para perawinya tidak bermasalah.”)
2. Boleh makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan tetap menjaga kebersihan.
3. Berbicara yang dibolehkan dengan orang lain untuk suatu keperluan.
4. Merapikan rambut, memotong kuku, membersihkan badan, mengenakan pakaian bagus dan memakai minyak wangi. Berdasarkan hadits ‘Aisyah x, ia berkata,
“Ketika Rasulullah n sedang i’tikaf di dalam masjid, beliau mengeluarkan kepalanya dari sela-sela kamar kemudian aku mencuci kepala beliau.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Kemudian aku merapikan rambut beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5- Melepas kepulangan keluarga yang menjenguknya, berdasarkan hadits Shafiyah yang mengabarkan bahwa Rasulullah n melakukannya.
Perkara-perkara Yang Dimakruhkan Atas Orang Yang Beri’tikaf
1. Berjual-beli.
2. Berbicara yang mendatangkan dosa.
3. Diam dan tidak berbicara sama sekali. Jika ia meyakininya sebagai ibadah.
Perkara-perkara Yang Membatalkan I’tikaf
1. Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa keperluan, sekalipun hanya sesekali.
2. Bersetubuh.
3. Gila dan mabuk.
4. Haidh dan nifas bagi kaum wanita, disebabkan hilang-nya syarat bersuci.
5. Murtad. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.
Waktu Memasuki Tempat I’tikaf Dan Keluar Darinya
Bilamana seseorang memasuki masjid dan berniat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), maka ia telah terhitung beri’tikaf hingga keluar dari masjid. Apabila ia meniatkan beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, hendaklah ia memasuki tempat i’tikaf sebelum matahari terbenam (menjelang malam kedua puluh satu). Dan meninggalkan tempat i’tikaf pada hari terakhir bulan Ramadhan setelah matahari terbenam.
Catatan-Catatan Penting
1. Bagi yang membatalkan i’tikaf sunnat yang tengah dilakukannya, hendaklah menggantinya pada hari yang lain, berdasarkan amalan Rasulullah n yang mengganti i’tikaf bulan Ramadhan pada bulan Syawal. Sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits ‘Aisyah x. Sementara bagi yang membatalkan nadzar i’tikaf yang tengah dilakukan-nya, maka ia wajib menggantinya.
2. Kaum wanita boleh beri’tikaf di dalam masjid. Jika terjaga dari fitnah dan diizinkan oleh suaminya. Jika ia beri’tikaf tanpa izin suaminya, maka ia boleh diusir dari masjid tanpa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian dituturkan oleh An-Nawawi.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan i’tikaf bagi kaum lelaki juga berlaku bagi kaum wanita. Hanya saja i’tikaf kaum wanita otomatis batal jika mereka haidh. Dan mereka boleh melanjutkannya kembali jika sudah suci.
Dan hendaknya kaum wanita membuat satir untuk tempat i’tikafnya dengan tenda dan memilih tempat yang tidak dipakai untuk shalat bagi kaum pria.
3. Barangsiapa bernadzar beri’tikaf di Masjidil Haram, ia tidak boleh menunaikannya di masjid lain. Jika ia bernadzar beri’tikaf di Masjid Nabawi, ia wajib menunaikannya di Masjid Nabawi atau boleh juga di Masjidil Haram.
Jika ia bernadzar beri’tikaf di Masjidil Aqsha, ia boleh menunaikannya di salah satu dari tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Sementara bagi yang bernadzar beri’tikaf di selain tiga masjid tersebut dan tidak menentukan masjid tertentu, ia boleh menunaikannya di masjid mana saja. Sebab Allah  tidak menjadikan tempat tertentu untuk melakukan ibadah, dan juga semua masjid sama saja keutamaannya kecuali tiga masjid tersebut.

Di samping yang telah kami kemukakan diatas ada beberapa faidah yang dapat dipetik dari sunnah i’tikaf ini, diantaranya adalah pembinaan jiwa dan melatihnya dalam mengerjakan ketaatan. Hal itu sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin dan khususnya para da’i. wallahu a’lam bish shawaab.