31 Desember, 2008

AGAR AMALAN KITA DITERIMA DI SISI ALLAH



Dalam suatu ayat, Allah  bercerita tentang keadaan hari kiamat:
rtinya: "Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?. Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar". QS. Al-Ghasyiyah: 1-7.
Ayat-ayat tersebut di atas merupakan cerita tentang kondisi sebagian penghuni neraka di hari akherat nanti. Ternyata bukan semua penghuni neraka adalah orang-orang di dunianya kerjaannya cuma gemar berbuat maksiyat, kecanduan narkoba, suka main perempuan dan lain sebagainya. Akan tetapi ternyata ada juga di antara penghuni neraka yang di dunianya rajin beramal, bahkan sampai dia kelelahan saking berat amalannya. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran yang amat besar dalam diri masing-masing kita, jangan-jangan kita termasuk yang sudah beramal banyak tapi nantinya termasuk ke dalam golongan yang disebut oleh Allah  di dalam awal surat al-Ghasyiyah tersebut di atas.
Jadi, untuk menghilangkan rasa cemas itu, kita perlu mengetahui mengapa orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas sudah beramal tapi malah ganjarannya neraka?. Bagaimanakah model amalan mereka?.
Dengan mengkaji penjelasan para ulama terhadap ayat ini kita bisa mengetahui bahwa ternyata rahasia kesialan mereka adalah karena mereka beramal tapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya amalan.
Merujuk kepada dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadits kita bisa menemukan bahwa syarat pokok diterimanya amalan seorang hamba ada dua :
1. Ikhlas karena Allah .
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah .
Dua syarat ini disebutkan dengan jelas dalam akhir surat al-Kahfi:
(فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً)
Artinya: "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". QS. Al-Kahfi: 110.
Oleh karena itu Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, "Dua hal ini merupakan dua rukun amal yang diterima. (Jadi suatu amalan) harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syari'at Rasulullah " .
Mari kita mulai mempelajari bersama, syarat pertama diterimanya suatu amalan, yaitu syarat ikhlas karena Allah Ta'ala. Maksudnya adalah: seseorang hanya mengharapkan ridha Allah dari setiap amalannya, bersih dari penyakit riya' (ingin dilihat orang lain) dan sum'ah (ingin didengar orang lain), tidak mencari pujian dan balasan melainkan hanya dari-Nya . Pendek kata seluruh amalan yang ia kerjakan hanya ditujukan kepada Allah  semata, dan ini merupakan inti ajaran aqidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul radhiyallahu 'anhum.
Orang yang tidak mengikhlaskan amalannya untuk Allah , tidak hanya mengakibatkan amalannya ditolak oleh Allah, tapi juga kelak dia akan disiksa di neraka. Mari kita simak bersama hadits berikut ini:
Suatu hari ketika Syufay al-Ashbahani memasuki kota Madinah, tiba-tiba dia mendapati seseorang yang sedang dikerumuni orang banyak, maka diapun bertanya, "Siapakah orang ini?". Mereka menjawab, "Ini adalah Abu Hurairah shahabat Nabi ". Maka Syafai-pun mendekat hingga dia duduk di hadapan Abu Hurairah, yang saat itu dia sedang menyampaikan hadits-hadits Nabi  kepada para hadirin. Ketika selesai dan hadirin telah meninggalkan tempat, Syufay berkata, "Sebutkanlah untukku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah  dan amat engkau hapal dan engkau pahami". Abu Hurairah menjawab, "Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah  dan amat aku pahami". Saat Abu Hurairah akan menyebutkan hadits itu tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, "Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah  dan amat aku pahami". Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, "Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah  di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau ". Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia mengusap wajahnya dan berkata, "Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah  di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau ". Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi dalam waktu yang cukup panjang, hingga Syafipun menyandarkan Abu Hurairah ke tubuhnya, sampai beliau siuman. Ketika sadar beliau berkata, "Suatu saat Rasulullah  berkata kepadaku:
"Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah  akan turun kepada para hamba-Nya untuk mengadili mereka, dan saat itu masing-masing dari mereka dalam keadaan berlutut. Lantas yang pertama kali dipanggil oleh-Nya (tiga orang): Seorang yang rajin membaca al-Qur'an, orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang hartanya banyak. Maka Allah pun berkata kepada si qori', "Bukankah Aku telah mengajarkan padamu apa yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku?". Si qori' menjawab, "Benar ya Allah". Allah kembali bertanya, "Lantas apa yang telah engkau amalkan dengan ilmu yang engkau miliki?". Si Qori menjawab, "Aku (pergunakan ayat-ayat al-Qur'an) yang kupunyai untuk dibaca dalam shalat di siang maupun malam hari". Serta merta Allah berkata, "Engkau telah berdusta!". Para malaikat juga berkata, "Engkau dusta!". Lantas Allah berfirman, "Akan tetapi (engkau membaca al-Qur'an) agar supaya engkau disebut-sebut qori'!. Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)". Kemudian didatangkanlah seorang yang kaya-raya, lantas Allah berfirman padanya, "Bukankan telah Kuluaskan (rizki)mu hingga engkau tdak lagi membutuhkan kepada seseorang?". Dia menyahut, "Betul". Allah kembali bertanya, "Lantas engkau gunakan untuk apa (harta) yang telah Kuberikan padamu?". Si kaya menjawab, "(Harta itu) aku gunakan untuk silaturrahmi dan bersedekah". Serta merta Allah berkata, "Engkau dusta!". Para malaikat juga berkata, "Engkau dusta!". Lalu Allah berfirman, "Akan tetap engkau ingin agar dikatakan sebagai orang yang dermawan!. Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)". Lantas didatangkan orang yang berperang di jalan Allah, kemudian dikatakan padanya, "Apa tujuanmu berperang?". Orang itu menjawab, "(Karena) Engkau memerintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka akupun berperang hingga aku terbunuh (di medan perang)". Serta merta Allah berkata, "Engkau dusta!". Para malaikat juga berkata, "Engkau dusta!". Lalu Allah berfirman, "Akan tetap engkau ingin agar dikatakan engkau adalah si pemberani!. Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia)". Lantas Rasulullah  menepuk lututku sambil berkata, "Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah yang pertama kali yang dikobarkan dengannya api neraka di hari kiamat" .
Meskipun masing-masing dari mereka bertiga memiliki amalan yang banyak, akan tetapi justru dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka pertama kali, itu semua gara-gara amalan mereka tidak ikhlas karena Allah . Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dikarunia Allah keikhlasan dalam setiap amalan. Amien.
Berhubung ibadah haji juga merupakan suatu amalan shalih yang sangat agung, bahkan merupakan rukun Islam yang kelima, maka kitapun dituntut untuk ikhlas dalam mengamalkannya, semata-mata mengharap ridha Allah . Hal ini perlu untuk senantiasa ditekankan, karena diakui atau tidak, masih ada, atau bahkan mungkin masih banyak orang-orang yang berangkat haji dengan niat yang dicemari oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Ada dari mereka yang berhaji supaya setelah pulang nanti dipanggil pak haji atau bu haji, hingga jika suatu saat ada tetangga yang lupa ketika memanggil dengan tidak menyebutkan pak haji, diapun tidak mau menoleh. Ada yang berhaji dengan tujuan untuk memperlancar rencana dia untuk meraih kursi di pemerintahan. Ada yang berhaji dengan tujuan agar disegani oleh rekan bisnisnya, dan masih banyak tujuan-tujuan duniawi lain yang bisa mengotori niat ibadah haji seseorang. Kalau kotoran-kotoran tersebut tidak segera kita bersihkan dari diri kita maka niscaya usaha kita menabung puluhan tahun agar bisa berhaji akan sia-sia!. Kita hanya akan pulang dengan membawa rasa penat dan letih!. Kita hanya akan pulang dengan tangan hampa! Dan yang lebih menyedihkan dari itu semua, apa yang Allah ceritakan di dalam ayat di bawah ini: Artinya: "Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". QS. Al-Furqan: 23.
Maka, jika ada di antara kita yang masih mengotori niatnya dalam berhaji dengan kotoran-kotoran duniawi, mari kita bersihkan kotoran-kotoran tersebut dari sekarang agar kelak kita tidak menyesal.
Juga kita berusaha mempelajari nilai-nilai keimanan yang terkandung di dalam ibadah haji kita, agar ibadah yang agung ini tidak terasa hambar, dan agar ibadah haji yang kita kerjakan ini semakin memperkuat akidah kita.
Sepengetahuan kami, buku terbaik yang ditulis untuk mengungkap rahasia keterkaitan ibadah haji dengan pondasi agama Islam, yakni akidah, adalah buku yang berjudul "Pancaran Nilai-Nilai Keimanan dalam Ibadah Haji" , yang ditulis oleh Syeikh. Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-'Abbad al-Badr, salah seorang dosen pasca sarjana di Universitas Islam Madinah. Maka kami melihat bahwa seharusnya setiap jama'ah haji berusaha untuk membaca buku ini sebelum berhaji, agar dia bisa berhaji dengan mantap.
Adapun syarat yang kedua agar amalan kita diterima adalah: Mengikuti tuntunan Rasulullah . Artinya: Amalan yang kita kejakan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah  harus sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Allah dan oleh Rasul-Nya . Sebab agama kita yang mulia ini telah disempurnakan oleh Allah  sebelum Rasulullah  memejamkan kedua matanya untuk selama-lamanya. Maka agama kita ini sama sekali tidak membutuhkan kepada seseorang untuk menambah sesuatu ke dalamnya, ataupun menguranginya.
Allah  telah berfirman:
(الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً) Artinya: "Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian". QS. Al-Maidah: 3.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi  yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah , serta memperingatkan kita agar tidak membuat hal-hal yang baru dalam agama, yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah . Di antaranya adalah firman Allah :
(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
Artinya: "Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah hendaklah kalian mengikutiku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS. Ali Imran: 31.
Dan sabda Rasulullah :
"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin (yang diberi petunjuk) sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya perkara yang baru (dalam agama) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka" .
Dalam hadits lain Beliau  memperingatkan,
"Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru di dalam perkara (agama) ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu akan tertolak" .
Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut di atas telah menegaskan akan wajibnya mengikuti tuntunan Rasulullah  dalam beramal. Barang siapa yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan Beliau  maka amalannya akan ditolak alias tidak diterima, meskipun amalannya besar, meskipun amalan itu telah membudaya di kalangan kaum muslimin ataupun amalan tersebut kelihatannya menurut kaca mata sebagian orang baik. Pendek kata yang harus dijadikan barometer untuk menilai baik tidaknya suatu amalan bukanlah akal manusia, akan tetapi setiap amalan harus di timbang dengan timbangan syari'at; al-Qur'an dan al-Hadits. Apa yang sesuai dengan keduanya kita kerjakan, dan apa yang tidak sesuai kita tinggalkan. Inilah jalan seorang muslim yang sejati.
Di zaman kita ini telah menjamur di kalangan sebagian masyarakat amalan-amalan yang dianggap ibadah, padahal sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah  maupun para shahabatnya. Apakah mereka lebih paham tentang agama Islam daripada Rasulullah  dan shahabatnya?. Ataukah mereka telah memiliki tuntunan yang berbeda dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah  dan para shahabatnya?.

MAKNA LAA ILAAHA ILALLAH



Kalimat laa ilaaha illallah ini mengandung makna peniadaan sesembahan selain Allah dan menetapkannya hanya untuk Allah semata.
1. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah." (Muhammad: 19)
Mengetahui makna laa ilaaha illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun yang lainnya.

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mengucaphan laa ilaaha illallah dengan Keikh-lasan hati, pasti ia masuk Surga." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami laa ilaaha illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,

"Wahai pamanku, katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: "Katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka menjawab: 'Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?' Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya. Allah I berfirman kepada mereka:

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mere-ka, 'Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)', mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sem-bahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? 'Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)'." (Ash-Shaffat: 35-37)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mengucapkan, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesua-tu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darah-nya (dirampas/diambil)." (HR. Muslim)

Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat me-wajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo'a (memohon) kepada mayit, dan lain-lain-nya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.

5. Laa ilaaha illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepa-daNya, dan menjadikan syari'atNya sebagai hukum, bukan yang lain-nya.

6. Ibnu Rajab berkata: "Al-Ilaah (Tuhan) ialah Dzat yang dita'ati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo'a (memohon) ke-padaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu per-kara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan laa ilaaha illallah dan mengan-dung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.

Sesungguhnya kalimat "Laa ilaaha illallah" itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, pasti ia masuk Surga." (HR. Hakim, hadits hasan)